Baru-baru ini seluruh umat Islam di bumi Nusantara amnya dan di Kelantan
khususnya dilanda kesedihan kerana meninggalnya satu-satunya ulama dan
juga umarak iaitu Allahyarham Tuan Guru Nik Aziz bin Nik Mat. Beliau
dipanggil mengadap Ilahi setelah menghabiskan masa hidupnya menegakkan
agama Allah menempuh segala halangan dengan sabar dan menyebarkan ilmu
Supaya masyarakat kembali kepada ajaran Islam yang sebenar. Walaupun ada
pepatah melayu mengatakan patah tumbuh hilang berganti, kehilangan
tokoh ulamak TGNA ini tiada galang gantinya.
Walaupun begitu kita sepatutnya bersyukur kerana bumi bertuah ini masih
lagi mempunyai ulama yang diiktiraf oleh ulama sedunia iaitu Tuan Guru
Hj Abd Hadi bin Awang. Dengan perginya TGNA beliau seolah-olah berjuang
keseorangan dalam menegakkan syariat Islam apabila mendapat tentangan
golongan bodoh dari kalangan pemimpin yang dipercayainya selama ini.
Golongan yang bodoh ini muncul apabila membelakangkan ulama dalam jemaah
Islam tetapi mengambil kesetiaan terhadap penentang syariat Islam.
Dalam Ash-Shahiihain, dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
من أشراط الساعة أن يُرْفَعَ العلم، ويَثْبُتَ الجهلُ.
“Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tetapnya kebodohan”.[1]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiiq, ia berkata : “Aku pernah bersama
‘Abdullah dan Abu Musa. Mereka berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda :
إن بين يدي الساعة لأيَّاماً يُنزَلُ فيها الجهلُ، ويُرْفَعُ العلم.
“Sesungguhnya menjelang hari kiamat kelak, akan ada hari-hari yang diturunkanya kebodohan dan diangkatnya ilmu”.[2]
Berkata Ibnu Baththaal rahimahullah :
وجميع ما تضمَّنَهُ هذا الحديث من الأشراط قد رأيناها، فقد نقص العلم، وظهر الجهل، وأُلْقِي الشحّ في القلوب، وعمّت الفتن، وكثرَ القتل.
“Seluruh tanda-tanda tentang hari kiamat yang terdapat dalam hadits
ini telah kita lihat. Sungguh, ilmu telah berkurang, kebodohan
merajalela, sifat kikir telah dijatuhkan/dijangkitkan dalam hati
(manusia), firnah telah tersebarnya, dan pembunuhan banyak terjadi”.[3]
Ibnu Hajar mengulas hal itu dengan berkata :
الذي يظهر أن الذي شاهده كان منه الكثير، مع وجود مقابله، والمراد من الحديث استحكام ذلك، حتى لا يبقى مما يقابله إلا النادر، وإليه الإشارة بالتعبير يقبض العلم، فلا يبقى إلا الجهل الصرف، ولا يمنع من ذلك وجودُ طائفة من أهل العلم، لأنهم يكونون حينئذ مغمورين في أولئك.
“Yang nampak, tanda-tanda hari kiamat yang disaksikannya itu memang
sudah banyak terjadi, bersamaan dengan adanya realiti yang sebaliknya.
Dan yang dimaksud oleh hadits adalah dominannya hal-hal tersebut
sehingga tidak tersisa hal yang tidak seperti itu melainkan sedikit.
Inilah yang diisyaratkan oleh hadits dengan ungkapan : ‘diangkatnya
ilmu’; tidaklah tinggal/tersisa kecuali hanyalah kebodohan. Namun hal
itu tidaklah menghalangi untuk tetap adanya sekelompok ahli ilmu (ulama)
di tengah umat, karena pada waktu itu mereka tertutup oleh dominasi
masyarakat yang bodoh akan ilmu agama”.[4]
Diangkatnya ilmu terjadi dengan diangkatnya (diwafatkannya) para ulama,
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash
radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Aku telah mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن الله لا يَقْبِضُ العلمَ انتزاعاً ينتزعُه من العباد، ولكنْ يقبِضُ العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يبقَ عالماً؛ اتَّخذ الناس رؤوساًَ جُهَّالا، فسُئِلوا ؟ فأفتوا بغير العلم، فضلّوا وأضلوا.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan
dari manusia. Namun Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para
ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah
mereka), manusia mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ditanya,
dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan
menyesatkan (orang lain)”.[5]
An-Nawawiy berkata :
هذا الحديث يُبَيِّنُ أن المراد بقبض العلم في الأحاديث السابقة المطلقة ليس هو محوُه من صدور حفَّاظه، ولكن معناه : أن يموتَ حملتُه، ويتخذ الناس جُهَّالا يحكمون بجهالاتهم، فيضلُّون ويُضِلُّون.
“Hadits ini memberikan penjelasan akan maksud ‘diangkatnya ilmu’ -
sebagaimana tertera dalam hadits-hadits secara mutlak – bukanlah
menghapuskannya dari dada para penghapalnya. Namun maknanya adalah :
wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian mengambil
orang-orang bodoh yang menghukumi sesuatu dengan kebodohan mereka.
Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.[6]
Dan yang dimaksud dengan ‘ilmu’ di sini adalah ilmu mengenai Al-Kitab
(Al-Qur’an) dan As-Sunnah, yang itu merupakan ilmu warisan para nabi
‘alaihis-salaam. Dan ulama adalah pewaris para nabi. Oleh karena itu,
kepergian mereka sama dengan perginya ilmu, matinya sunnah,
berkembangnya bid’ah, dan meratanya kebodohan.
Adapun ilmu keduniaan, maka itu merupakan tambahan. Bukanlah ia yang
dimaksud dalam hadits-hadits, dengan alasan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu.
Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)”. Kesesatan
hanyalah terjadi karena kebodohan dalam agama. Dan ulama yang hakiki
adalah ulama yang mengamalkan ilmu-ilmu mereka, mengarahkan dan
menunjukkan umat ke jalan lurus dan petunjuk. Ilmu tanpa disertai amalan
tidaklah banyak bermanfaat. Bahkan dapat menjadi bencana bagi
pemiliknya. Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dengan lafadh :
وينقص العمل
“Dan amal pun berkurang”.[7]
Berkata Al-Imam Muarrikh (ahli sejarah) Islam Adz-Dzahabi setelah menyebutkan sekelompok ulama :
وما أوتوا من العلم إلا قليلاً، وأما اليوم؛ فما بقي من العلوم القليلة إلا القليل، في أناس قليل، ما أقل مَن يعمل منهم بذلك القليل، فحسبنا الله ونعم الوكيل.
“Tidaklah mereka diberikan ilmu melainkan sedikit. Adapun hari ini,
tidaklah tersisa dari ilmu-ilmu yang sedikit tersebut melainkan lebih
sedikit lagi di tangan orang-orang yang jumlahnya sedikit pula. Dan
betapa sedikit lagi orang-orang yang beramal dengan ilmu mereka yang
sedikit itu. Hasbunallaahwani’mal-wakiil (Semoga Allah mencukupkan kita,
dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung)". [8]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Shahih Al-Bukhariy, Kitaabul-‘Ilmi, Baab Raf’il-‘Ilmi wa Qabdlihi wa Dhuhuuril-Jahli (1/178 – bersama Fathul-Baariy) dan Shahih Muslim, Kitaabul-‘Ilmi, Baab Raf’il-‘Ilmi wa Qabdlihi wa Dhuhuuril-Jahli wal-Fitan fii Aakhiriz-Zamaan (16/222 – bersama Syarh An-Nawawiy).
[2] Shahih Al-Bukhari, Kitaabul-Fitan, Baab Dhuhuuril-Fitan (13/13 – bersama Fathul-Baariy).
[3] Fathul-Baariy (13/16).
[4] Fathul-Baariy (13/16).
[5] Shahih Al-Bukhariy, Kitaabul-‘Ilmi, Baab Kaifa Yaqbidlul-‘Ilm (1/194 – bersama Fathul-Bariy), dan Shahih Muslim, Kitaabul-‘Ilmi, Baab Raf’il-‘Ilmi wa Qabdlihi wa Dhuhuuril-Jahli wal-Fitan(16/223-224 – bersama Syarh An-Nawawiy).
[6] Syarhun-Nawawiy li-Shahih Muslim (16/223-224).
[7] Shahih Al-Bukhariy, Kitaabul-Adab, Baab Husnil-Khuluq was-Sakhaa’ wa Maa Yakrahu minal-Bukhl (10/456 – bersama Fathul-Baariy).